AYAH????
Sore yang cukup tenang. Semburat warna jingga terlukis indah di atas rangkaian dedaunan yang tergelar di angkasa. Beberapa orang berduyun-duyun hendak kembali ke istana masing-masing. Mereka telah seharian bekerja tanpa henti di ladang sumber penghidupan. Para pekerja keras itu berjalan melewati rumahku dan tak lupa memberikan sapaan padaku yang seolah mematung di atas kursi. Dalam suasana teras rumah kayu bernuansa Jawa yang sangat kental aku sesekali menyambut sapaan para pekerja keras itu dengan senyum.
Mareka tak tahu. Senyum yang aku ukir dan aku berikan itu tak datang dari hati. Di sini, di dalam dadaku terasa sangat sesak saat aku harus memberikan senyumku itu. Sejak kemarin siang, sesaat setelah aku menerima kabar dari istriku. Dia yang sedang berada di rumah orang tuanya. Karena kabar itu aku belum sanggup lagi merangkai senyum indah ikhlas dari hatiku.
Sebuah pesan singkat yang aku tak tahu harus berbuat apa.
Mas, aku mau melahirkan. Doakan ya mas, bayi ini selamat. Aku sangat mengharapkan mas ada di sini sekarang.
Ya. Aku segera menjadi ayah. Aku bahagia karena aku diberikan amanah yang sangat besar dari Sang Pencipta. Namun, entah apa yang menahanku untuk sekedar membalas pesan dari istriku itu. Mungkin, dia akan mencaciku dan menganggapku sebagi laki-laki tak sayang dengan istri. Laki-laki tak bertanggung jawab. Laki-laki yang tidak setia. Mungkin masih banyak gunjingan-gunjingan yang ditujukan kepadaku. Tak hanya istriku, namun juga mertua dan orang-orang yang mengetahui keacuhanku terhadap keadaan istri.
Huffhhh,,,, kuhela nafas panjang berharap benda keras nan menyesakkan ini segera melebur. Mencair masuk tertelan bersama ludahku. Harapanku tak terjawab. Benda itu masih sangat menyesakkan dada.
Kunikmati lagi sore indah berwarna jingga ini. Sore yang indah, tak seperti gelap dan sempitnya batinku. Nampak di depanku seekor induk ayam berjalan beriring-iringan dengan anak-anak mereka. Piyik-piyik suara mereka mendatangkan ingatanku terhadap bagaimana kabar anak ku sekarang. Apakah dia masih terlelap dalam rahim atau sudah menyambut dunia baru? Apakah ia sedang digendong ibu mertuaku. Mungkin juga sedang terlelap tidur di samping istriku. Sungguh lucu dan menggemaskan jika kubayangkan hal itu. Entah setan apa yang merasukiku hingga aku tega berbuat semua ini. Tak menanyakan keadaan istri, tak menengok. Aku juga tak ada niat dan semangat untuk segera pergi untuk sekedar membisikkan adzan di telinga anakku. Anakku berjenis kelamin apa aku juga tak peduli. Ah.... semua terasa aneh, sesak, dan entahlah.
“Diminum ini teh yang ibu buat Di.” Suara Ibuku melamurkan semua bayangan-bayangan yang bermain-main di kepalaku.
“Eh, iya Bu. Matur nuwun.” Jawabku.
“Kok ibu perhatikan, kamu dari kemarin murung to le? Ada masalah apa? Mbok cerita sama Ibu.” Ibu ternyata mempunyai perasaan yang sangat sensitif. Beliau memandangku dengan mata memelas. Semakin perih rasanya hati ini dengan tatapan itu.
“Ah, gapapa kok Bu.” Aku berusaha menutupi semuanya. Ya, aku memang belum memberi tahu tentang istriku yang telah melahirkan. Aku mencoba menenangkan hatiku dan meminum teh yang disajikan ibuku tercinta.
“O iya Zal, gimana kabar Winda? Kapan to perkiraan tanggal dia melahirkan?” tanya ibu dengan semangat karena akan mendapatkan cucu lagi dariku. Aku adalah anak pertama di keluarga ini, aku mempunyai 2 adik dan semuanya laki-laki. masing-masing dari kami pun telah memberikan seorang cucu.
Teh manis yang telah mencapai setengah kerongkonganku terhenti. andai aku bisa berbicara, aku ingin bilang, ’Bu, tolong jangan bicarakan itu dulu.’ Namun kata-kata itu malah akan menimbulkan kekhawatiran bagi ibuku.
akhirnya aku hanya mampu mengucapkan, ‘2 hari lagi Bu. besok pagi aku mau nyusul Winda.’ dengan senyum tak sepenuh hati yang mampu aku berikan untuk tak membangkitkan kekhawatiran perempuan yang telah melahirkan aku ke dunia.
‘Oh, gitu. Ya ditemeni besok, kasian Winda lw kamu ga ada disisinya saat-saat seperti itu. Saat dimana sebuah kehidupan baru lahir. Sebuah kehidupan yang telah Allah amanahkan kepada kalian berdua. Dijaga ya Zal. Jaga anak itu, didik dia dalam agama. Agama yang terpenting. Juga jangan kamu lupakan Dinda, dia masih kecil saat ditinggal ibunya. Berusahalah untuk adil.’
aku hanya diam, menikmati aroma teh yang masih terasa hangat di tanganku. Dinda adalah anak pertamaku dari pernikahanku yang pertama. Dia cantik, pintar, seperti ibunya. Semoga darah Santi, istri pertamaku, yang mengalir di tubuh Dinda tidak membawa sifat-sifat buruk ibunya. karena sifat-sifat itulah yang membuat Dinda tak bisa merasakan kasih sayang orang tua sebagaimana mestinya.
Perih itu masih terasa saat bayangan kejadian menyakitkan itu berkelebat di benakku. Bayangan saat Santi duduk di depanku dengan muka tertunduk. Dia tak mampu melihat kedua mataku saat dia mengatakan bahwa dia menemukan pria lain yang akan membuatnya bahagia.
Ah... Lupakan sajalah, insya Allah sakit, pedih dan ketakutan waktu itu mengurangi sedikit dosa-dosaku. Takdir indah pasti telah disiapkan-Nya untukku.
‘Iya Bu, saya juga berusaha menjaga semuanya agar tetap adil.’ Aku menjawab dengan setenang mungkin menutupi gejolak rasa yang membuncah di hatiku.
Thing.. pesan dari Winda. Langsung kubuka pesan itu.
‘Mas, adiknya Dinda. laki-laki. Mas segera kesini ya, jika berkenan untuk mengadzani.’
‘Alhamdulillah Bu. Winda sudah melahirkan. Aku tak kesana sekarang.’
‘Alhamdulillah. iya, hati-hati ya. nanti Ibu menyusul ma Bapak kalau Bapak sudah pulang.’
aku langsung berpamitan.
‘Ingat Rizal. Adil, bersyukur dengan semua yang diberikan Allah, dan jaga amanah itu dengan seluruh kemampuanmu.’
‘Iya Bu.’ aku mulai memacu sepeda motorku.
Iya Bu. InsyaAllah saya akan adil sebagai kepala keluarga dan Ayah.Adil kepada anak pertamaku, Dinda, sebagai Ayahnya yang akan menuntunnya. Kepada pendamping hidupku, Winda. Dan kepada anak yang baru saja menyapa dunia yang penuh warna ini, walaupun darah yang mengalir dalam dirinya bukan darahku.Aku akan berusaha menjadi ayah yang baik bagi mereka.
Andai aku bisa menyampaikan itu kepadamu Bu.
Mareka tak tahu. Senyum yang aku ukir dan aku berikan itu tak datang dari hati. Di sini, di dalam dadaku terasa sangat sesak saat aku harus memberikan senyumku itu. Sejak kemarin siang, sesaat setelah aku menerima kabar dari istriku. Dia yang sedang berada di rumah orang tuanya. Karena kabar itu aku belum sanggup lagi merangkai senyum indah ikhlas dari hatiku.
Sebuah pesan singkat yang aku tak tahu harus berbuat apa.
Mas, aku mau melahirkan. Doakan ya mas, bayi ini selamat. Aku sangat mengharapkan mas ada di sini sekarang.
Ya. Aku segera menjadi ayah. Aku bahagia karena aku diberikan amanah yang sangat besar dari Sang Pencipta. Namun, entah apa yang menahanku untuk sekedar membalas pesan dari istriku itu. Mungkin, dia akan mencaciku dan menganggapku sebagi laki-laki tak sayang dengan istri. Laki-laki tak bertanggung jawab. Laki-laki yang tidak setia. Mungkin masih banyak gunjingan-gunjingan yang ditujukan kepadaku. Tak hanya istriku, namun juga mertua dan orang-orang yang mengetahui keacuhanku terhadap keadaan istri.
Huffhhh,,,, kuhela nafas panjang berharap benda keras nan menyesakkan ini segera melebur. Mencair masuk tertelan bersama ludahku. Harapanku tak terjawab. Benda itu masih sangat menyesakkan dada.
Kunikmati lagi sore indah berwarna jingga ini. Sore yang indah, tak seperti gelap dan sempitnya batinku. Nampak di depanku seekor induk ayam berjalan beriring-iringan dengan anak-anak mereka. Piyik-piyik suara mereka mendatangkan ingatanku terhadap bagaimana kabar anak ku sekarang. Apakah dia masih terlelap dalam rahim atau sudah menyambut dunia baru? Apakah ia sedang digendong ibu mertuaku. Mungkin juga sedang terlelap tidur di samping istriku. Sungguh lucu dan menggemaskan jika kubayangkan hal itu. Entah setan apa yang merasukiku hingga aku tega berbuat semua ini. Tak menanyakan keadaan istri, tak menengok. Aku juga tak ada niat dan semangat untuk segera pergi untuk sekedar membisikkan adzan di telinga anakku. Anakku berjenis kelamin apa aku juga tak peduli. Ah.... semua terasa aneh, sesak, dan entahlah.
“Diminum ini teh yang ibu buat Di.” Suara Ibuku melamurkan semua bayangan-bayangan yang bermain-main di kepalaku.
“Eh, iya Bu. Matur nuwun.” Jawabku.
“Kok ibu perhatikan, kamu dari kemarin murung to le? Ada masalah apa? Mbok cerita sama Ibu.” Ibu ternyata mempunyai perasaan yang sangat sensitif. Beliau memandangku dengan mata memelas. Semakin perih rasanya hati ini dengan tatapan itu.
“Ah, gapapa kok Bu.” Aku berusaha menutupi semuanya. Ya, aku memang belum memberi tahu tentang istriku yang telah melahirkan. Aku mencoba menenangkan hatiku dan meminum teh yang disajikan ibuku tercinta.
“O iya Zal, gimana kabar Winda? Kapan to perkiraan tanggal dia melahirkan?” tanya ibu dengan semangat karena akan mendapatkan cucu lagi dariku. Aku adalah anak pertama di keluarga ini, aku mempunyai 2 adik dan semuanya laki-laki. masing-masing dari kami pun telah memberikan seorang cucu.
Teh manis yang telah mencapai setengah kerongkonganku terhenti. andai aku bisa berbicara, aku ingin bilang, ’Bu, tolong jangan bicarakan itu dulu.’ Namun kata-kata itu malah akan menimbulkan kekhawatiran bagi ibuku.
akhirnya aku hanya mampu mengucapkan, ‘2 hari lagi Bu. besok pagi aku mau nyusul Winda.’ dengan senyum tak sepenuh hati yang mampu aku berikan untuk tak membangkitkan kekhawatiran perempuan yang telah melahirkan aku ke dunia.
‘Oh, gitu. Ya ditemeni besok, kasian Winda lw kamu ga ada disisinya saat-saat seperti itu. Saat dimana sebuah kehidupan baru lahir. Sebuah kehidupan yang telah Allah amanahkan kepada kalian berdua. Dijaga ya Zal. Jaga anak itu, didik dia dalam agama. Agama yang terpenting. Juga jangan kamu lupakan Dinda, dia masih kecil saat ditinggal ibunya. Berusahalah untuk adil.’
aku hanya diam, menikmati aroma teh yang masih terasa hangat di tanganku. Dinda adalah anak pertamaku dari pernikahanku yang pertama. Dia cantik, pintar, seperti ibunya. Semoga darah Santi, istri pertamaku, yang mengalir di tubuh Dinda tidak membawa sifat-sifat buruk ibunya. karena sifat-sifat itulah yang membuat Dinda tak bisa merasakan kasih sayang orang tua sebagaimana mestinya.
Perih itu masih terasa saat bayangan kejadian menyakitkan itu berkelebat di benakku. Bayangan saat Santi duduk di depanku dengan muka tertunduk. Dia tak mampu melihat kedua mataku saat dia mengatakan bahwa dia menemukan pria lain yang akan membuatnya bahagia.
Ah... Lupakan sajalah, insya Allah sakit, pedih dan ketakutan waktu itu mengurangi sedikit dosa-dosaku. Takdir indah pasti telah disiapkan-Nya untukku.
‘Iya Bu, saya juga berusaha menjaga semuanya agar tetap adil.’ Aku menjawab dengan setenang mungkin menutupi gejolak rasa yang membuncah di hatiku.
Thing.. pesan dari Winda. Langsung kubuka pesan itu.
‘Mas, adiknya Dinda. laki-laki. Mas segera kesini ya, jika berkenan untuk mengadzani.’
‘Alhamdulillah Bu. Winda sudah melahirkan. Aku tak kesana sekarang.’
‘Alhamdulillah. iya, hati-hati ya. nanti Ibu menyusul ma Bapak kalau Bapak sudah pulang.’
aku langsung berpamitan.
‘Ingat Rizal. Adil, bersyukur dengan semua yang diberikan Allah, dan jaga amanah itu dengan seluruh kemampuanmu.’
‘Iya Bu.’ aku mulai memacu sepeda motorku.
Iya Bu. InsyaAllah saya akan adil sebagai kepala keluarga dan Ayah.Adil kepada anak pertamaku, Dinda, sebagai Ayahnya yang akan menuntunnya. Kepada pendamping hidupku, Winda. Dan kepada anak yang baru saja menyapa dunia yang penuh warna ini, walaupun darah yang mengalir dalam dirinya bukan darahku.Aku akan berusaha menjadi ayah yang baik bagi mereka.
Andai aku bisa menyampaikan itu kepadamu Bu.
1 comments:
Posting Komentar