¬Tita: Angin Masa Lalu
Pagi yang indah. Tita bangun dari tidur lelapnya semalam. Setelah membuka mata, Tita meregangkan saraf-saraf yang kaku di seluruh tubuhnya. Setelah semua nyawa gadis manis itu sudah agak kembali sekitar 75%, tangannya langsung beraksi. Tangan kecil itu berkeliaran di sekitar bantal empuknya dan srep.. Ponsel sudah berada di tangan.
Jam di handphoneTita sudah menunjukkan pukul 4 pagi. Dia pun beranjak dari tempat tidur, berjalan agak sempoyongan karena rasa ngantuk. Tita mengambil air wudhu dan segera shalat, dan tak lupa di dalam sujudnya dia mendoakan orang tua dan Iwan, walau pun masih sakit luka yang dibuatnya. Tita tak ambil pusing, semoga Iwan dapat yang terbaik. Amiin.
Belum selesai 20 ayat suci ia lantunkan, adzan Subuh telah berkumandang. Tita bangkit dan menunaikan kewajibannya. Semua aktivitas pagi Tita seperti biasa untuk mempersiapkan agenda setiap hari.
Pukul 8 pagi, semua telah beres.
“Hemh, selesai juga. Tinggal membersihkan diri dan memanjakan diri. Mandi...” Gumam Tita langsung menyambar handuk dan berlari ke kamar mandi. Begitulah Tita, semangatnya yang sempat hilang karena seorang laki-laki, kini kembali lagi dan menjadi Tita seperti biasa. Tita yang penuh senyum keceriaan dan semangat.
Hari ini, Tita berencana untuk mencari buku bacaan yang bisa menghibur. Setelah semua siap, Tita pun meluncur dengan motornya ke toko buku. Sebenarnya agenda itu untuk membuat dirinya sendiri lupa akan rasa sakit, atau paling engga’ sejenak refreshing lah.
Di toko buku.
Tita sibuk berkutat di rak yang bertuliskan Sastra. Kegemaran Tita memang agak ke sastra, namun bukan sastra tingkat tinggi, cenderung ke novel sich.
Setelah mendapat buku yang diinginkan, Tita mengedarkan pandangannya dan menghampiri rak bertuliskan komik.Hobinya membca komik pun tak mampu ia hilangkan. Saat tangannya asyik mencari komik kesukaannya dia, tiba-tiba ada yang menyapa.
“Tita, ini Tita kan?”, sapa orang itu.
“Emm, iya bener. Maaf siapa ya?” Tita kebingungan, maklum dia lemah kalau mengigat identitas orang.
“Ya ampun ni orang dari dulu ga berubah. Pikunnya itu lho, ckckck,,” Orang yang berjenis cowok itu tersenyum geli dan Tita mulai merasa aneh.
“Ini aku Ta, dulu yang pas SMP selalu kamu cuekin gara-gara aku ngungkapin rasa sayangku ma kamu,” lanjut cowok itu.
Kening Tita berkernyit dan deg... mata Tita terbelalak,
“Ryan?? Bener ini loe?” Tit masih belum yakin.
“Haduh,,, nenek ternyata tambah pikun.” Orang itu mengelus dadanya sendiri. “Iya, aku Ryan.”
“Ya ampuun. Kok loe beda sich. Lagi sibuk apa nih?” tanya Tita bersemangat.
“Sabar donk neng. Beda gimana? Kamu tu yang beda, sekarang jadi ramah ma aku.” Ryan tersenyum menggoda.
“Huh, dasar sama aja dink.” Tita cemberut.
“iya Tuan Puteri. Aku sekarang kan lagi pulang kampung, liburan semester kok. Kamu kuliah di mana ta?” tanya ryan lagi.
“kamu sendiri kuliah dimana?” Tita sengaja ga mau jawab pertanyaan Ryan.
“Aku di salah satu institut di kota Kembang. Doain lulus tahun ini ya,”
“Oke dech. Amiin.” Tita menjawab dan meneruskan mencari komik.
“Ta, udah ketemu belum bukunya. Kalau udah kita makan dulu yuk, laper nih belum sarapan.” Pinta Ryan penuh harap Tita mau menemaninya makan.
“Terus apa hubungannya aku selesai cari buku ma makan?” tita pura-pura ga tau.
“Temeni yo, dulu kan aku selalu kamu cuekin, so, itung-itung bayar utang” ryan nyengir.
“Hemh, iya dech.”
Percakapan mereka terus berlanjut di rumah makan. Dan akhirnya mereka pulang.
Sesampai di rumah, Tita langsung ambruk di kamar. Capek juga Tita berputar-putar mencari buku. Dan tak habis pikir, kenapa Tita bisa bertemu Ryan. Cowok yang dulu pernah menyatakan sayangnya ke Tita walaupun Tita selalu cuek.
“Tak apalah, memperbaiki silaturahmi. He,,” Tita senyum sendiri. Dia langsung melepas kain di kepalanya dan cari air minum. Selesai meneguk segelas penuh air putih, handphone Tita berbunyi. Satu pesan masuk, dan dari Ryan,
Hei, dah mpe humz kan?
“Ni orang ga ada kapoknya ya. Ga takut apa kalau aku cuekin lagi.” Pikir Tita.
Udah kok. Jawab Tita singkat.
Ping.... pesan dari Ryan lagi.
Jutek amat.
Tita pun membalas,
Biarin...
Ping... dari Ryan, again..
Iya Tuan Puteri. Aku ga ganggu lagi. Tapi, BTW gue boleh jadi temen loe kan?
Dengan cepat Tita membalas,
Silahkan aja. Banyak temen kan barokah. Hehe,,,
Ping...
Makaci, kamu udah punya cowok belum?
Aku ga punya cowok, Balas Tita
Ping...
Yang beneeeer? Boleh donk daftar, aku juga ga punya cewek,
Tita tak ingin melanjutkan, dia pun menaruh ponselnya di kamar dan tak membalas sms Ryan. Entah kenapa luka itu terasa lagi. Tita tak akan meratapi Iwan lagi, namun dia tak ingin Ryan menjadi cinta sesaat atau hanya pelampiasan saja, Ryan orangnya baik, namun Tita masih trauma akan rasa sakit. Namun, apa salahnya menjain pertemanan.
Tita kembali ke kamar dan membalas pesan dari Ryan,
Bener. Silahkan daftar ke ortuku... he,,, berani ga?
Ping....
Ciapa takuut...
Tita tersenyum. Ryan belum berubah. Dia akan menjadi teman yang baik. Tita memang telah memasrahkan urusan jodoh kepada orang tuanya. Tita ikhlas, karena Tita yakin Allah menyayanginya dan akan menuliskan kisah terindah bagi Tita, dan melalui kedua orang tuanya. Selama ini feeling mereka selalu benar. Thank’s ya Allah...
Jam di handphoneTita sudah menunjukkan pukul 4 pagi. Dia pun beranjak dari tempat tidur, berjalan agak sempoyongan karena rasa ngantuk. Tita mengambil air wudhu dan segera shalat, dan tak lupa di dalam sujudnya dia mendoakan orang tua dan Iwan, walau pun masih sakit luka yang dibuatnya. Tita tak ambil pusing, semoga Iwan dapat yang terbaik. Amiin.
Belum selesai 20 ayat suci ia lantunkan, adzan Subuh telah berkumandang. Tita bangkit dan menunaikan kewajibannya. Semua aktivitas pagi Tita seperti biasa untuk mempersiapkan agenda setiap hari.
Pukul 8 pagi, semua telah beres.
“Hemh, selesai juga. Tinggal membersihkan diri dan memanjakan diri. Mandi...” Gumam Tita langsung menyambar handuk dan berlari ke kamar mandi. Begitulah Tita, semangatnya yang sempat hilang karena seorang laki-laki, kini kembali lagi dan menjadi Tita seperti biasa. Tita yang penuh senyum keceriaan dan semangat.
Hari ini, Tita berencana untuk mencari buku bacaan yang bisa menghibur. Setelah semua siap, Tita pun meluncur dengan motornya ke toko buku. Sebenarnya agenda itu untuk membuat dirinya sendiri lupa akan rasa sakit, atau paling engga’ sejenak refreshing lah.
Di toko buku.
Tita sibuk berkutat di rak yang bertuliskan Sastra. Kegemaran Tita memang agak ke sastra, namun bukan sastra tingkat tinggi, cenderung ke novel sich.
Setelah mendapat buku yang diinginkan, Tita mengedarkan pandangannya dan menghampiri rak bertuliskan komik.Hobinya membca komik pun tak mampu ia hilangkan. Saat tangannya asyik mencari komik kesukaannya dia, tiba-tiba ada yang menyapa.
“Tita, ini Tita kan?”, sapa orang itu.
“Emm, iya bener. Maaf siapa ya?” Tita kebingungan, maklum dia lemah kalau mengigat identitas orang.
“Ya ampun ni orang dari dulu ga berubah. Pikunnya itu lho, ckckck,,” Orang yang berjenis cowok itu tersenyum geli dan Tita mulai merasa aneh.
“Ini aku Ta, dulu yang pas SMP selalu kamu cuekin gara-gara aku ngungkapin rasa sayangku ma kamu,” lanjut cowok itu.
Kening Tita berkernyit dan deg... mata Tita terbelalak,
“Ryan?? Bener ini loe?” Tit masih belum yakin.
“Haduh,,, nenek ternyata tambah pikun.” Orang itu mengelus dadanya sendiri. “Iya, aku Ryan.”
“Ya ampuun. Kok loe beda sich. Lagi sibuk apa nih?” tanya Tita bersemangat.
“Sabar donk neng. Beda gimana? Kamu tu yang beda, sekarang jadi ramah ma aku.” Ryan tersenyum menggoda.
“Huh, dasar sama aja dink.” Tita cemberut.
“iya Tuan Puteri. Aku sekarang kan lagi pulang kampung, liburan semester kok. Kamu kuliah di mana ta?” tanya ryan lagi.
“kamu sendiri kuliah dimana?” Tita sengaja ga mau jawab pertanyaan Ryan.
“Aku di salah satu institut di kota Kembang. Doain lulus tahun ini ya,”
“Oke dech. Amiin.” Tita menjawab dan meneruskan mencari komik.
“Ta, udah ketemu belum bukunya. Kalau udah kita makan dulu yuk, laper nih belum sarapan.” Pinta Ryan penuh harap Tita mau menemaninya makan.
“Terus apa hubungannya aku selesai cari buku ma makan?” tita pura-pura ga tau.
“Temeni yo, dulu kan aku selalu kamu cuekin, so, itung-itung bayar utang” ryan nyengir.
“Hemh, iya dech.”
Percakapan mereka terus berlanjut di rumah makan. Dan akhirnya mereka pulang.
Sesampai di rumah, Tita langsung ambruk di kamar. Capek juga Tita berputar-putar mencari buku. Dan tak habis pikir, kenapa Tita bisa bertemu Ryan. Cowok yang dulu pernah menyatakan sayangnya ke Tita walaupun Tita selalu cuek.
“Tak apalah, memperbaiki silaturahmi. He,,” Tita senyum sendiri. Dia langsung melepas kain di kepalanya dan cari air minum. Selesai meneguk segelas penuh air putih, handphone Tita berbunyi. Satu pesan masuk, dan dari Ryan,
Hei, dah mpe humz kan?
“Ni orang ga ada kapoknya ya. Ga takut apa kalau aku cuekin lagi.” Pikir Tita.
Udah kok. Jawab Tita singkat.
Ping.... pesan dari Ryan lagi.
Jutek amat.
Tita pun membalas,
Biarin...
Ping... dari Ryan, again..
Iya Tuan Puteri. Aku ga ganggu lagi. Tapi, BTW gue boleh jadi temen loe kan?
Dengan cepat Tita membalas,
Silahkan aja. Banyak temen kan barokah. Hehe,,,
Ping...
Makaci, kamu udah punya cowok belum?
Aku ga punya cowok, Balas Tita
Ping...
Yang beneeeer? Boleh donk daftar, aku juga ga punya cewek,
Tita tak ingin melanjutkan, dia pun menaruh ponselnya di kamar dan tak membalas sms Ryan. Entah kenapa luka itu terasa lagi. Tita tak akan meratapi Iwan lagi, namun dia tak ingin Ryan menjadi cinta sesaat atau hanya pelampiasan saja, Ryan orangnya baik, namun Tita masih trauma akan rasa sakit. Namun, apa salahnya menjain pertemanan.
Tita kembali ke kamar dan membalas pesan dari Ryan,
Bener. Silahkan daftar ke ortuku... he,,, berani ga?
Ping....
Ciapa takuut...
Tita tersenyum. Ryan belum berubah. Dia akan menjadi teman yang baik. Tita memang telah memasrahkan urusan jodoh kepada orang tuanya. Tita ikhlas, karena Tita yakin Allah menyayanginya dan akan menuliskan kisah terindah bagi Tita, dan melalui kedua orang tuanya. Selama ini feeling mereka selalu benar. Thank’s ya Allah...
2 comments:
Posting Komentar